Sabtu, 26 Januari 2019

Bangga Jadi Guru


Sejak  SMP dulu, jika ditanya apa cita-citamu, saya mantap menjawab, “ Jadi guru!”. Padahal di tahun 92-93an itu, jadi guru belumlah jadi profesi yang dianggap keren. Saya ingat, waktu itu diantara teman sekelas, saya sendirian yang ‘ngacung’ pertamakali untuk pertanyaan siapa yang ingin jadi guru. Teman-teman sekelas saat SMP cenderung mengingat ini. Maka panggilan saya kadang ‘Propesor’ atau ‘Bu guru’. Saya sebenarnya tahu kalau panggilan seperti itu membuat saya semakin tampak cupu dengan kacamata minus besar bertengger di hidung yang tak mancung. Tapi saya tetap bangga dengan cita-cita itu.

Saat SMA, guru PPkn saya ingat bahwa dulu beliau sering menyuruh saya menerangkan beberapa bagian dari pembelajaran ke depan kelas. Dan saya melakukannya dengan senang hati. Itu saya dengar saat lima tahun kemudian saya mengajar bersamanya. Saat SMA dulu pun saya sudah aktif membantu bapak saya mengajar Kejar Paket B di sebuah SD diatas gunung dekat Waduk Gajah Mungkur, SD Perampelan 3. Dan saya ingat saya melakukannya dengan suka cita.

Mengapa ingin jadi guru? Mungkin karena memang keluarga besar saya adalah guru. Embah, dan Bapak Ibu saya adalah guru SD.  Tetapi seiring jalannya waktu saya semakin merasa nyaman berprofesi sebagai guru. Ini alasannya.

Jadi Guru Itu Bikin Awet Muda

Haha, No Hoax lho. Ini buktinya. Saat perayaan ulang tahun SMA N 2 Wonogiri yang ke 45, Kamis 24 Januari 2019 kmaren, saya bertemu dengan guru-guru semasa SMA saya yang juga diundang mendatangi acara jalan santai pagi itu. Kebetulan saya kan setelah lulus kuliah mengajar dan diangkat menjadi ASN di SMA saya dulu itu. Wah, bisa dibilang hampir sebagian besar guru saya yang sudah purna tugas itu tampak lebih segar dibanding umur mereka.
Bersama Pak Joko dan Bu Lilik
Disamping saya ini adalah Bapak Joko Nurhadi, guru seni rupa saya waktu SMA. Masih kelihatan super duper muda kan untuk usianya yang bercucu empat. Sedangkan disampingnya, yang berkerudung merah adalah Bu Lilik, guru ekonomi saya. Tak kalah segarnya.

Kemudian yang satu ini, beliau adalah pak Sukirso, guru sosiologi saya.  Sudah lama purna, tapi tetap segar ceria saja. Dulu saat mengajar pun pak Kirso ini kerap menjadi guru idola karena sangat ramah dan sabar meski mulang anak IPS yang terkenal sebagai ikatan pelajar santai.







 Berfoto dengan guru Bahasa Inggris saya, Pak Narso sungguh merupakan kebangaan.Beliau sudah semacam jadi suhu – guru besar-nya kami para pengajar Bahasa Inggris di SMA 2 saat ini  Di ujung kanan yang melambaikan tangan, ada Bu Warti, guru BP yang dulu memantapkan saya memilih jurusan Bahasa Inggris selepas SMA. Jalur undangan yang dia pilihkan. Alhamdulillah saya keterima PMDK UNNES. Saya pun tinggal duduk manis tak perlu repot cari tempat kuliah.

Bu Nunuk berkerudung abu-abu di tengah

Ini ada juga guru-guru SMA saya lainnya. Ada Bu Nunuk guru sejarah yang membuat saya jatuh cinta setengah mati pada Majapahit. Saat ulangan, suaranya selalu lantang mengingatkan 'KAKI KURSI LURUS KAKI MEJA!'. Beliau cukup keras untuk menegakkan kedisiplinana dan kejujuran saat test. Selain itu ada Bu Karni, mantan guru akuntansi, yang ingin saya contoh akan lantang gaya mengajarnya, dan Bu Retno Haryuni , guru PPkn yang selalu ramah, dan Bu Endang, guru kimia, yang  humble meskipun dari kalangan yang cukup berada. Doa tulus menyertai mereka.

Tuh kan terbukti, menjadi guru membuat awet muda. Bahkan saat sekian lama purna tugas.

Ikut Bahagia Saat Siswa Memperoleh Kesuksesan


“Bu, ini musim salju di Turki. Ini saya buat orang-orangan salju untuk Bu Dewi.” Sebuah caption dibawah foto dari Sulih, siswa lulusan SMA 2 yang mendapat beasiswa di Turki. Sekarang dia sudah lulus dan sedang merintis karirnya di tanah air. Saya memang tidak pernah ke luar negeri, bepergian jauh saja tak sering, apalagi menyentuh salju. Tapi saat mantan murid menceritakan itu, cesss, seolah-olah itu saya sendiri yang menyentuh saljunya.

Begitu pula saat murid memperoleh nilai bagus, memenangkan perlombaan atau berhasil di suatu bidang, rasanya guru bisa ikut bangga berlipat-lipat. Bahagia rasanya jika murid berhasil selepas lulus sekolah.  Ada yang pernah bilang bahwa anak saya itu ada dimana saja.Mulai dari pelosok pedesaan di berbagai wilayah di Indonesia sampai luar negeri. Itulah untungnya jadi guru, anaknya buanyaaak. Dan seperti selayaknya ibu lainnya, saya bangga sekali dengan murid-murid saya.

“Tapi saya hanya jadi ibu rumah tangga biasa, Bu,” Keluh seorang ibu muda yang dulu lulusan sekolah kami. Heii..bukankah dulu di kelas acap kali saya bilang, jadi apapun itu asal halal dan baik, sapalah bu gurumu ini di jalan. Bagi saya jadi ibu rumah tangga tetaplah membanggakan asal dia jadi berusaha jadi ibu yang terhebat untuk anak-anaknya. Jadi penjaga konter HP pun tetap membanggakan selama itu membuatnya jadi karyawan yang jujur dan baik hati.

Bisa Belajar Dari Muridnya

Menjadi guru, membuat saya bertemu dengan beragam kehidupan murid. Dan kadang saya lah yang belajar dari mereka.

Ada yang membuat saya terharu karena ternyata si anak itu memilih hidup dengan ibunya yang stroke. Setia merawat ibunya meski ditawari ikut ayahnya yang bekerja di kota besar. Dan itu anak laki-laki usia tujuhbelasan. Sungguh besar hatimu, nak. Saya belajar untuk lebih menghargai orang tua saya sendiri dari kisahnya.

Hidupnya harusnya berkeping-keping saat sebuah kecelakaan membuat sebelah kakinya diamputasi selutut. Tapi tidak untuk Ikhsan. Ditengah rasa sakitnya, dia berusaha pulih, dan tetap aktif nyambi nyantri sepulang dari SMA. Cara dia bersalaman dengan guru pun sering membuat mata saya tiba-tiba basah. Dia cium punggung tangan gurunya dengan penuh rasa takzim dan penghargaan yang tulus. Kadang saya malu dengan kegigihannya. Saya pun berjanji akan memperlakukan guru-guru saya setakzim Ikhsan menyalami gurunya.

Seorang siswi yang sangat berprestasi tiba-tiba berulah. Membuat telinga panas dan menguji kesabaran saya. Rasanya ingin menampar kesadarannya biar dia terbangun. Kembali jadi murid hebat yang dulu paling saya banggakan di kelas untuk pelajaran saya. Ah, ternyata penilaian saya masih terlalu dangkal. Persepsi saya berubah saat mendengar pemaparan dari guru agamanya, yang telah menyempatkan mengunjungi rumahnya dan bicara dari hati ke hati. Si anak itu berlaku begitu itu kan ada sebabnya. Dan itu berkaitan dengan keluarganya yang kurang harmonis. Bahwa ayahnya berlaku keras dan kadang ada KDRT adalah fakta lain yang membuka mata saya. Saya pun belajar untuk berikhtiar mengupayakan keluarga yang harmonis untuk anak-anak saya di rumah, hingga semoga karakter mereka terjaga dengan baik saat diluar sana.

Saya pun belajar sebuah keikhlasan tingkat tinggi dari mantan murid saya yang bernama Ahmad Anthoni almarhum. Di tengah rasa sakitnya melawan penyakit lupus yang menggerogoti bagian demi bagian tubuhnya, dia berujar bahwa sakitnya akan dia jadikan ladang ibadah. Selalu optimis berusaha sekuat tenaga hingga akhir hayatnya.

Baca kisahnya lebih lanjut disini: Ahmad Anthoni, The Untold Hero



Ya, saya adalah guru. Dan saya bangga karenanya. Saya sangat bersyukur Allah memudahkan saya menjadi seorang guru. Mungkin saya tidak bisa jadi pimpinan perusahaan sehebat anda. Atau tak cakap jadi seorang manager pemasaran ternama. Meski jadi guru mungkin tak membuat saya jadi kaya raya atau terkenal sejagad raya. Tetapi saya tahu pasti, di depan saya masih ada jalan panjang  bermil - mil jaraknya untuk saya bisa berusaha menjadi guru yang lebih baik dari hari ke hari.  Seperti kata pujangga kesukaan saya Robert Frost dalam puisinya; ‘and miles to go before I sleep. And miles to go before I sleep.’

Bahagia itu mengerjakan apa yang kita cintai  dan kita mencintai apa yang kita kerjakan. Do What You Love & Love What You Do!

Bagaimana, apakah anda juga cukup mencintai profesi anda saat ini?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

blogger tamplate

 thema gratis blogger terbaru blogger template blogger template blogger template blogger template blogger template blogger template b...