THE UNTOLD HERO;
Mengenang Kepergian Seorang Sahabat Istimewa
Pagiku kali itu gelisah. Berita duka seakan merayap lewat uaran dinginnya angin pagi. Menelisik diantara beningnya embun bergulir di pucuk rumput. Menunggu sebentar untuk ditimpa hangatnya mentari hingga akhirnya hilang. Menguap. Lalu mengapa pula aku seperti berat. Sedang embun telah mencontohkan. Ketiadaan seseorang adalah kepastian. It’s just a matter of time.
“Selamat Jalan Ahmad Antoni, I see the hero lies in you,” kubisikkan lewat embun selepas bait Al Fathehah kukirimkan ke langit.
Tanyakan tentang kematian padanya. Dan dia akan menjawabnya ringan kadang masih disempatkan tersenyum. Vonis penyakit lupus yang dideritanya membuatnya sudah begitu akrab dengan keluar masuk rumah sakit. Sebutkan definisi segala rasa sakit. Nyeri, mual, demam, atau perih. Mungkin sebgaian besar dia sudah mengalaminya. Tapi bagi saya dia adalah tetap Ahmad Antoni anak didikku- di kelas bahasa pertamaku. Yang meski sering saya ledek ‘ngantukan’ , dia tak akan marah. Mencoba riang dan menebar optimis.
Mataku silau terpias matahari yang meninggi. Tapi hati ini belum mau beranjak dari kenangan. Ahmad dan kelas bahasanya memang akan selalu istimewa di hati. Tahun 2002-2003 itu kali pertamanya saya resmi mengajar segera setelah lulus dari perguruan tinggi. Jarak usia antara saya dan murid-murid yang tak terlalu jauh saat itu, membuat kami lekas akrab. Karena saya selalu menganggap murid adalah anak - maka murid-murid di kelas bahasa ini adalah anak pertama saya. Ahmad adalah salah satunya.
Saya ingat suatu saat tim debat bahasa Inggris dari kelas bahasa ku ini masuk final tingkat kabupaten. Ahmad bukanlah tim inti. Tapi saya ingat sekali wajah itu lah yang menyusul kami ke gedung DPRD seusai tim bertanding. Menemui tim yang terbersit kecewa karena dikalahkan dengan margin tipis sekali. Tak bisa jadi wakil Wonogiri ke propinsi. Entah bagaimana saya tidak ingat bagaimana Ahmad menyusul kami dari sekolahan. Saat itu sedang jam pelajaran. Tak mudah mencari ijin keluar.
Itulah dia. Membawa kembali keriangan karena dia tak akan peduli jadi bahan candaan. Membawa aura optimis itu meski kami tak menang.
Itulah dia. Membawa kembali keriangan karena dia tak akan peduli jadi bahan candaan. Membawa aura optimis itu meski kami tak menang.
Bertahun tak jumpa, dia sudah berkeluarga, lengkap dengan tiga matahari kecilnya. Kembali sesekali bersua saat dia kemudian menjadi ketua Solo Peduli Wonogiri, dimana saya menjadi salah satu bagiannya. Dia tetap sehat, ceria, aktivis masjid dan bersemangat berbagi. Seperti tak ada tanda-tanda dia sakit. Apalagi sakit serius seperti Lupus.
Yang jelas kemudian Ahmad sering keluar masuk rumah sakit. Ahmad divonis terserang penyakit Lupus. Sebuah jenis penyakit autoimun. Sistem kekebalan yang harusnya melindungi tetapi malah berbalik menyerang sel, jaringan, dan organ tubuh sendiri. Bagian organ tubuh mengalami peradangan (inflamasi) kronis misalnya pada kulit, sendi, sel darah, ginjal, paru-paru, jantung, atau bahkan sungsum tulang belakang.
Penyakit lupus kemudian membuat persendian kakinya mudah nyeri. Sampai pernah sulit untuk berjalan. Tapi Ahmad selalu berusaha optimis. Kuat dan semangat. Masih aktif mencoba menafkahi keluarganya dengan berdagang online. Beberapa kali saya menyempatkan pesan lewat lapaknya; mulai dari bumbu penyedap tanpa MSG, buku parenting terbitan Solo Peduli, majalah Junior, kaos muslim dan tas beberapa kali. Karena kasihan?
Ahmad tak perlu dikasihani. Dan dia pasti tak akan pernah meminta dikasihani. Dia adalah benar-benar pedagang yang baik. Di tengah sakitnya, dia memberi pelayanan sebaik-baiknya. Penuh semangat. Amanah sekali dengan produknya. Seolah dia itu tidak sedang dalam keadaan sakit. Tapi ibu mana tak merasa tersentuh rasa kasihannya jika melihat anaknya sakit. Tiga tahun lalu saya bertemu dengannya di sebuah acara lomba antar TPQ di masjid dekat rumah. Ahmad dengan kruk di kakinya ikut dengan rombongan tim TPQ desanya.
Subhanalloh! Di tengah sakitnya dia masih menyempatkan menghidupkan kegiatan keagamaan di lingkungannya. “Ya kalau pas sakit, lututnya seperti ditusuk – tusuk bu. Kaki kadang sulit dibawa berjalan,” ringan dia menjelaskan. Takut tumpah air mata ini, segera saya pamit pulang sambil mendorong anak saya yang sedang di atas sepeda roda tiganya. Di sepanjang jalan menuju rumah saya ingat harus mengusap mata berkali kali dengan ujung jilbab. Beratnya rasa sakit yang ditanggungnya menggayuti mata ini. It’s not that easy, I know.
Malam merayap mengajakku berkaca di pantulan gelapnya langit. Malu betapa mudah mulut ini mengaduh, menggerutu , memuntahkan segala keluh kesah saat masalah muncul, padahal seringnya hanya sekecil kerikil. Malu akan seringnya lupa betapa mahal nilai sehat yang telah dikaruniakan-Nya. Sedang Ahmad, didampingi istri hebatnya, diantara riuh tiga anak-anaknya- sebisa mungkin tak melulu mengaduh. Sakit dipandangnya sebagai lahan ibadah. Tak menyurutkan semangat hidupnya.
Maka kukabarkan berita ini kepadamu kawan. Sebagai bentuk penghormatan, kasih sayang dan kebanggaan seorang ibu kepada anaknya. Ahmad, sungguh bu gurumu ini bisa melihat pahlawan itu ada padamu, meski tidak disiar-siarkan sekalipun. For me, You’re the untold hero.
(untuk Ahmad, yang telah berpulang pada usia 33 tahun, 4 juli 2018 di RS Moewardi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar