Kalau maafku mungkin masih sewarna semburat oranye di awal hari. Antara stengah iya – stengah gengsi. Belum semenggoda warna si cokelat. Di depan kelas mudah saja sih setengah khotbah mengatakan , kalau kita salah segera minta maaf ya... kalau teman salah ya harus kita maafkan. Amboii gurihnya nasehatku.
Kenyataannya bisa lain cerita. Saat si trouble maker – begitu temannya menjulukinya, datang ke kelas dengan santainya setelah hampir sekian lama dipimpin berdoa. Diantara bibirnya yang belepotan mi rebus terdengar gumaman minta maaf. Mengapa berat untuk sekedar melingkarkan senyum. Jangan bilang mudah saat bibir mencoba berucap, iyaa bu guru sudah maafkan kamu kok!.
Mengapa begitu berat? Bagaimana caraku untuk segera memaafkannya? Tak bisakah biarkan saja kesalahannya lepas di alur angin? Tanpa tamparan tanpa makian. Tapi maafku belum selezat cokelat. Harga maafku masih terlalu tinggi dikalahkan rasa gengsi – ingin lebih berkuasa. Mengapa yang keluar dari mulutku lebih mirip makian yang mungkin menamparnya lebih tajam dari sekedar tamparan tangan.
Kau kukatakan tak berkarakter. Tak tahu sopan. Kau gagal belajar karakter baik disekolah ini. Kulirik bias pahit dimatamu. Aiih, pahitnya coklat seharusnya berganti dengan legit dan lezat yang berujung senyum.
Baiklah, kurasa agar maafku menjadi selezat coklat aku harus belajar beberapa kata mereka yang cerdik pandai:
- "Anak yang gagal belajar atau guru yang gagal mengajar?"
Sebuah pertanyaan di buku Ayah Edy Punya Cerita yang seharusnya menjadi bagian tanyaku. Saat mereka gagal bersopan santun dengan baik seperti tadi, mengapa tak coba saya tanya ke diri sendiri " Hei, jangan-jangan saya sebagai guru lah yang ikut andil mencetak mereka untuk gagal bersikap lebih baik. "
Rasanya lebih baik jika saya mencoba koreksi diri. Mencoba mencari cara agar saya tak lagi gagal menerapkan disiplin dan sikap sopan kepada mereka.
2. Belajar dari ayah Dr. Arun Gandhi; Mendidik tanpa kekerasan.
Suatu hari saat Dr Arun Gandhi masih remaja, dia mendapat tugas untuk menemani ayahnya yang pergi konferensi di sebuah kota besar. "Arun, jemput ayah tepat jam lima sore disini dan kita akan pulang bersama-sama."
Sang anak menjawab dengan yakin akan menjemput ayahnya tepat jam lima sore. Tetapi apa daya, janjinya terkalahkan dengan keasyikannya melakukan berbagai kegiatan, termasuk menonton film di sebuah bioskop. Arun pun terlambat. Dia datang ketempat ayahnya hampir pukul 18.00. Ayahnya kemudian bertanya mengapa dia terlambat.
"Maaf ayah, tadi aku menunggu bengkel seharian. mobilnya sore baru selesai diperbaiki," jawab Arun mulai berbohong. Malu dia keasyikan menonton film hingga lupa janjinya.
Ternyata tanpa sepengetahuan Arun, ayahnya tadi telah menelfon bengkel tempat mobil diperbaiki. Bengkel mengatakan mobil telah selesai siang tadi. Ayah Arun terpekur sedih, dia tahu anaknya telah berbohong.
Lalu perjalanan pulang sejauh kurang lebih 18 mil itu dilakukan sang Ayah dengan berjalan kaki dalam diam. Sementara hari kian gelap. Ayah tetap menggeleng saat berulang Arun menawarinya naik mobil. Arun tak kuasa menahan air mata saat berlahan mengiringi ayahnya, Arun menyetir berjalan berlahan di belakang ayahnya dalam sepanjang perjalan itu. Arun pun sangat menyesali kejadian itu dan berjanji sejak saat itu dia akan selalu berkata jujur kepada siapapun. Dr. Arun menyatakan pasti akan berbeda jika saat itu ayahnya meluapkan marah atau langsung keras dalam menghukum,
"Kemungkinan saya akan menderita atas hukuman itu dan hanya sedikit saja menyadari kesalahan saya."
http://www.arungandhi.org
Maafkan anak, evaluasi kesalahan yang mungkin kita perbuat yang mungkin ikut berperan menjadikan anak menunjukkan perilaku yang tidak terpuji.
3. Saat harus terpaksa memberi hukuman, pastikan berat ringannya hukuman bukan semata-mata berdasar suasana hati semata.
Ya Allah, kadang alangkah tampak beringasnya sikap ini kepada mereka. Hanya karena mereka terlambat, rentetan kata tajam mereka terima. Tanpa sempat mereka menjelaskan. Tanpa membiarkan hati ini peduli mendengar. Menurut Moh. Faudzil Adhim dalam bukunya Saat berharga untuk anak kita:
"Tak layak orangtua terus memberi tekanan mental kepada anak, padahal mereka telah menunjukkan penyesalan. Sebaliknya, yang perlu kita berikan adalah dukungan dan penerimaan yang tulus."
Maka seharusnya bukan kata bernada kasar dan menyudutkan yang harusnya keluar dari lisan ini tadi. Seharusnya biarkan dulu hati ini memaafkan. Seharusnya lembutkan dulu mata ini dengan penerimaan yang tulus saat mereka menunjukkan penyesalan. Nah, setelah itu barulah beri waktu untuk mendiskusikan hukuman. Kasih sayang harusnya mendahului kemarahan.
Harusnya bukan kata tajam untuk memulai hukuman mereka kali itu. Harusnya tatapan kasih sayang penuh maaf yang manis untuk menetapkan hukuman mereka yang telah melanggar peraturan. Dan merekapun akan tahu bahwa saat hukuman ditetapkan, itu semata karena didorong oleh rasa sayang dan peduli saya untuk mereka.
Picture:Pixabay
Tidak ada komentar:
Posting Komentar