Minggu, 10 Februari 2019

Urusan Sampah Bukan Hanya Tanggung Jawab Pemerintah


Impian saya adalah dunia minim sampah. Tulisan ini bagian dari penyemangat diri untuk lebih peduli. Karena kenyataannya saya pun belum bisa mudah lepas dari sekedar jeratan ribuan plastik kresek. Masih begitu mudah membiarkan diri menggunakan sedotan dan cups plastik disela jajan minuman. Impian akan jadi sekedar impian jika kaki ini tak coba segera melangkah berubah. Temani saya bermimpi. Temani saya berubah. Let's spread love & care for the nature.

Apakah ancaman terbesar bagi planet kita? 


Pemanasan global diklaim telah begitu menghawatirkan keberadaannya, mulai memberi dampak buruk bagi lingkungan di sekitar kita. Pertambahan jumlah industri dan kendaraan yang pesat membuat jumlah karbon dioksida di udara terus meningkat, mulai merusak lapisan ozon di atmosfir bumi. Membuat bumi semakin panas, mengubah ritme iklim, memunculkan lebih banyak bencana alam dan mengancam kepunahan beberapa spesies makhluk hidup disekitar kita.
Sampah yang jumlahnya semakin meningkat seiring bertambahnya jumlah penduduk bumi, dianggap salah satu masalah yang semakin memperburuk keadaan lingkungan di muka bumi ini. Sebuah data yang cukup memprihatinkan adalah bahwa Indonesia masuk dalam peringkat kedua sebagai negara penghasil sampah plastik terbesar di dunia, setelah China. Fakta yang lebih mengkhawatirkan adalah bahwa sebagian besar sampah plastik tersebut tidak terkelola, tidak termanfaatkan, bahkan disinyalir mencemari lautan terbuka.
           Itu baru satu jenis sampah, padahal setiap harinya berbagai jenis sampah semakin banyak diproduksi dari berbagai  lapisan masyarakat di Indonesia. Menurut data Kementrian Lingkungan Hidup (2016), jumlah sampah yang dihasilkan masyarakat Indonesia adalah sekitar 64.5 juta ton. Sebagian besar - sejumlah 38.40 ton adalah berupa sampah organik, 8.96 juta ton adalah berupa sampah plastik, dan 5,76 ton berupa sampah kertas.

Sumber: Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Sebagian besar sampah itu dalam keadaan tidak terpilah dengan baik dan tidak termanfaatkan. Sebanyak 69 persen dari total timbunan sampah itu ditimbun di TPA, dan kenyataannya hanya baru beberapa TPA saja di Indonesia yang mempunyai sistem pengolahan sampah yang sangat baik. Ada juga bagian sampah itu yang hanya dikubur, atau dibakar, dan bahkan tidak dikelola sama sekali. Hanya sekitar 7.5 persen saja yang telah dimanfaatkan untuk kompos atau daur ulang.
Saat sampah tidak ditangani dengan baik, sampah berpotensi menimbulkan menimbulkan berbagai hal negatif, seperti menjadi penyebab atau penyebar penyakit, menghasilkan gas metan (CH4) yang dapat merusak atmosfir bumi, merusak pemandangan dan menjadi salah satu penyebab utama terjadinya banjir.
Fakta – fakta yang berada di sekitar kita itu menunjukkan sedemikian kompleks dan serius masalah lingkungan yang mengancam kelestarian planet kita ini. Tetapi sebenarnya bukan itu ancaman terbesar bagi planet bumi, saya sepakat dengan Robert Swan Obe, seorang aktivis lingkungan dunia, yang menyatakan bahwa:
“Sebenarnya, Ancaman terbesar bagi planet ini adalah ketika setiap orang berfikiran tak peduli; berpendapat bahwa toh akan ada orang lain yang akan menyelamatkannya.”
Ancaman terbesar bagi bumi memang bukan sekedar kurangnya lahan tempat tinggal atau perang bom atom. Ancaman terbesar itu ketika orang-orang sudah mulai tidak peduli dengan lingkungan yang ditempatinya. Sudah tahu bahwa bumi terancam pemanasan global, tetep cuek saja. Sudah tahu sampah itu bisa jadi bom waktu masalah, teteep saja merasa ‘itu bukan urusanku.” Dan yang paling bahaya adalah jika setiap orang mulai berpikiran, “Sudah, repot amat sih, toh akan ada orang lain yang akan menyelamatkan lingkungan ini.”
Rumah dan sekolah sudah seharusnya menjadi salah satu garda depan untuk mengubah pola pikir seperti itu. Salah satu tugas orang dewasa disekitar anak-anak adalah membantu mengarahkan mereka  untuk menuju pola pikir yang benar. Yaitu setiap dari kita bertanggung jawab untuk berupaya menyelamatkan kelestarian alam melalui usaha apapun yang kita bisa.
Karakter cinta lingkungan, sebagai bagian karakter kereligiusan siswa, harus ditingkatkan agar siswa tergerak untuk melakukan tindakan untuk menyelamatkan lingkungan. Mendorong mereka aktif turut serta menjaga kelestarian lingkungan di sekitarnya. Sehingga saat kelak mereka dewasa, karakter cinta lingkungan akan terus melekat sebagai bagian karakter terpuji dalam diri mereka.
Berbagai upaya harus dilakukan agar sampah tidak semakin menumpuk atau sekedar pindah dibawa ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Di negara kita sebenarnya sudah ada Undang-Undang (UU) Nomor 18 tahun 2008 tentang Pengolahan Sampah, terdapat pula Peraturan Pemerintah (PP) 81 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga. Akan tetapi masih banyak masyarakat yang awam terhadap UU dan PP ini, sehingga terdapat pemikiran bahwa urusan sampah hanya tanggung jawab pemerintah saja.
Pada UU Nomor 81 Tahun 2012, terdapat point yang menyatakan bahwa masyarakat seharusnya berperan serta dalam proses pengambilan keputusan, penyelenggaraan, dan pengawasan dalam pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga. Berdasar UU tersebut, pemerintah mendorong berbagai upaya pengolahan sampah mandiri, terutama dalam bentuk Bank Sampah.

Bank Sampah Meningkatkan Karakter Cinta Lingkungan

Bank sampah berbasis sekolah adalah sarana yang tepat untuk membentuk karakter cinta lingkungan pada diri siswa. Sekolah adalah termasuk salah satu sumber sampah. Siswa dan warga sekolah lainnya menghabiskan hampir separuh waktu mereka di sekolah. Selama berkegiatan di sekolah pastilah menghasilkan sejumlah sampah.
Jumlah sampah di lingkungan sekolah akan menjadi cukup besar jika tidak dikelola dengan baik. Coba anda fikirkan analogi berikut: dalam suatu sekolah tingkat SMP atau SMA, siswanya bisa mencapai 800 anak. Jika seperempat persen saja dari mereka membeli minuman kemasan botol atau cupsplastik, dalam satu hari bisa terdapat 200-an sampah botol dan cups plastik. Dalam seminggu bisa ribuan kemasan botol dan cups plastik yang dihasilkan. Sayang sekali jika sampah plastik itu dibiarkan tercampur begitu saja dengan sampah organik tanpa dimanfaatkan, apalagi kalau dibiarkan tersebar ditanah sekitar sekolah begitu saja. Tanah di sekitar sekolah bisa tercemar dan rusak karena sampah plastik semacam itu memerlukan ratusan tahun untuk dapat terurai di tanah.
          Dengan adanya bank sampah di sekolah, sampah – sampah tersebut akan dapat terpilah dan terkelola dengan lebih baik. “Ah, di sekolah saya muridnya sedikit,” mungkin beberapa dari anda berpendapat demikian. Begini, mari kita lihat dari sudut pandang lain. Mari kita anggap siswa di sekolah anda sejumlah 50 an anak. Memang secara kuantitas produksi sampah mereka tidaklah begitu besar, tetapi secara kualitas telah ada 50 anak yang ter-edukasi untuk memilah dan memanfaatkan sampah dengan lebih baik lewat bank sampah sekolah. Jika ke 50 anak tersebut kemudian menularkan kebiasaan tersebut ke keluarga masing – masing di rumah, maka menjadi ratusan orang yang menjadi mulai peduli dengan sampah.

Infografis Bank Sampah di Indonesia

            Mengubah pola pikir, membentuk karakter bukanlah pekerjaan instan. Karakter masyarakat Indonesia memang masih belum terbiasa mengolah sampah. Dengan keberadaan bank sampah, sekolah telah berupaya membangun kesadaran untuk membuang sampah pada tempatnya dan memilah sampah organik dan non organik, untuk kemudian memanfaatkannya. 

            Meskipun mungkin diperlukan waktu lama untuk membuahkan hasil, paling tidak kita telah mencoba memulainya. Bukankah perjalanan ber mil – mil jauhnya pun pada awalnya dimulai dari satu langkah?



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

blogger tamplate

 thema gratis blogger terbaru blogger template blogger template blogger template blogger template blogger template blogger template b...